Kurasa kau perlu mengenal temanku, Putri.

Gue manggut-manggut setelah menonton video tentang white savior complex, ini. Bukan berarti gue menganggap sinis mereka yang melakukan kebaikan ya. Ndaaak begitu. Gue sangat salut dan bangga karena gue sendiri belum bisa berbuat banyak untuk membantu mereka yang membutuhkan. Taa.. tapii.. akibat sering memakan ketumbar lengkoas kehidupan, belum lagi framming yang dibentuk media, gue agak susah membedakan mana yang pure demi kemanusiaan serta mana yang hanya demi pencitraan. Ditambah, beberapa kali menjumpai banyak oknum yang memanfaatkan kisah penderitaan orang lain untuk mengeruk keuntungan pribadi.. Zzzzz…. Lalu apa dong yang bisa gue lakukan? Mungkin sesederhana menceritakan kisah seseorang yang benar-benar tulus mengabdikan hidup mereka untuk kegiatan sosial. Salah satunya, temanku, Putri.

***

Kampus UI, Depok, 2002.. Angkatan gue saat itu bertanggung jawab menjadi panitia ospek Jurusan Komunikasi 2002. Salah satu kegiatannya adalah berburu tanda tangan senior. Dalihnya supaya bisa saling mengenal gitu. Ciailaahh.. Nah, seperti layaknya kakak mahasiswa sok tengil kebanyakan gaya, gue juga ikutan nongkrong sambil ‘ngerjain’ mahasiswa baru. Pokoknya tidak ada makan siang gratis. Boleh minta tanda tangan, tapi unjuk kreativitas dulu. Macam-macam uji nyalinya, tergantung mood-nya si senior. Apa kek, perform nyanyi, bikin parodi program TV, parodi iklan, nge-rap, menggambar, ceritain headline berita terbaru, ngerayu senior atau minimal cuma ngobrol-ngobrol receh.. Nah hari itu, ketika kami sedang nongkrong di bawah pohon  beringin FISIP, datanglah beberapa mahasiswa baru berjaket kuning. Salah satunya, seorang gadis ramping berkulit sawo matang yang memiliki rambut bob sepundak khas Indonesia. Ituh yang hitam, tebal dan sehat.. Dari kejauhan, anak ini menghampiri gue dengan mata berkilat dan senyum paling cemerlang yang pernah gue lihat. Beneran. Waktu dia nyengir kuda, gue curiga, jangan-jangan di belakang gue ada kamera sedang shooting iklan pasta gigi. Bening bersinar gitu, mameeen.. Sejurus kemudian, cewek ini mengulurkan tangannya dan terdengar suaranya yang rendah “Kak Dewi, kenalkan aku Putri”.

***

Dengan sok bijak, gue membuka-buka buku profilnya, padahal aselinya otak gue lagi mikirin episode drama korea terbaru.. Gue           : “Kita ngobrol apa ya? Perpecahan politik di Armenia? Harga BBM di Namibia atau anatomi laba-laba pemakan burung di Amazon?” Putri        : *bengong* Gue          :Haaiyaaa, becandaa. Gue juga kagak ngerti. Kita nggosip aja lah yaa.. Kamu suka artis siapa?” Putri        : “Aku suka boyband Kakaak.. Kayak Backstreet Boys gituu..” Ingin rasanya kumengepalkan tangan. Eh tapi kan senior harus jaim, jadi gue manggut-manggut aja seperti pak Tino Sidin. “Oh Boyband.. yayayaa.. Baguus.” Putri        : “Kakak suka korea kan? AKu juga. Favorit akut WOn Bin.” Wait. Apa yang gue dengar tadi? Kaleeeem.. Tapi, ini kalem kagak, kalempit-lempit iyee.. Gue          : “WHOOOAAAA ADIK SEPERGURUAANKUU!! GUE JUGA SUKAA!!”. Kami menjerit kegirangan. Sudah mirip reuni seorang putri (dia), yang terpisah dengan mbak pengasuhnya (gue). Nggak dheeeng.. Pokoknya kita cekikkan sambil fangirling di siang hari yang panas itu. Maklum, bueebuukk.. Boro-boro sebelah mata, dulu, kesenangan kami ini masih dipandang seperempat mata *he? seperempat mata tuh yang kayak gimana?*. Pokoknya kebudayaan korea belum mendunia seperti saat ini. Dulu lebih kamso maendhus gitu deh. Jadi menemukan seseorang yang memiliki minat yang sama bagaikan menemukan saudara dari lain dimensi. Setelah itu, ia bercerita, meski nama Putri seperti khas nama Jawa, sesungguhnya dia adalah gadis Batak yang besar di Depok. Saking mendarah dagingnya, sejak lahir sampai lulus SMU dia belum pernah keluar Depok. Ebuseeettt..

***

Satu dekade kemudian. Selayaknya semua pertemanan di dunia ini, saat itu kami terhubung kembali dengan teknologi yang bernama sosial media. Facebook, salah satunya. Dari Facebook dan update teman-teman, gue mendapati kabar bahwa Putri sudah selesai kuliah S2 di Eropa dan bersama suaminya, menjadi guru di Papua. Dari peradaban maju Eropa kembali ke Papua. Papuuaa?

Wuiiidiiiih..

Memangnya kenapa?

Beginii. Di tengah derasnya laju informasi, wajar, jika banyak teman-teman gue yang rajin cerita tentang kehidupan mereka di luar negeri. Yang tadinya update standar, kini lihat matahari saja bisa jadi status. Mungkin sekarang memang eranya sudah begitu, jadi gue pikir, Putri termasuk salah satunya. Pokoknya, tidak pernah terbersit dalam pikiranku kalau dia akan memilih ‘berkarier’ di Papua.

Sekedar mengingatkan, sampai di sini, paham?.. (OMG! Aku paling ndak suka membaca kalimat ini di kolom komen. LALU KENAPA DITULIS? #tendangdewiksampaiantartika)

Eh, sampai di mana tadi? Oiya. Masih ngomongin Putri dan suaminya. Intinya, semakin lama gue membaca cerita mereka, makin takjub gue dibuatnya. Tidak hanya berbagi tentang keindahan alam dan binar ceria anak-anak Papua, tapi lebih dari itu, mereka mengabdikan hidupnya bagi pendidikan anak-anak di daerah terpencil.Gambar mungkin berisi: 2 orang, termasuk Putri Kitnas Inesia, orang tersenyum, gunung, rumput, luar ruangan dan alam Gambar mungkin berisi: 5 orang Tanpa maksud mengecilkan peran teman-teman yang memberikan kontribusi dengan mendidik anak-anak di pelosok nusantara, tapi jujur.. baru di sosok Adit dan Putrilah gue benar-benar mengangkat panci.. eh, maksudnya topi. Terutama, gue sangat kagum dengan Adit. Meski ia adalah putra pemilik Kue Gempol, salah satu kue legendaris di Bandung, tapi ia memilih meninggalkan zona nyaman. Salah satunya ia ingin mewujudkan cita-cita sang ayah untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak terpinggirkan.  Kalau gue? Kalau gue loh yaa.. Mungkin sembari kipas-kipas membaca laporan cuan Roti Gempol, gue lebih sibuk memikirkan konten apa yang seru untuk Instagram gue. Lebih oke mana, pose nyender tembok sambil nyari uang receh atau pose nyupir tapi make sure merk jam tangan gue harus kelihatan? Sementara Adit? Bersama murid-muridnya keliling bukit Bokondini sambil berjualan roti hasil olahan mereka. Ais dan Opak, is that you? Aduh, pokoknya melihat gaya hidup mereka tuh apa ya.. bahagia.  Sederhana, namun tampak jelas, setiap nafas dan apa yang mereka lakukan selalu berlandaskan nilai spiritualitas yang tinggi. Sampai di sini paham? #plaaaaaaaakk #keluarkalimatitulagiii? #tendangdewiksampaisungaimamberamo Sudah selesai? Beloomm.. Dalam perjalanannya, pasangan muda ini merasakan kegelisahan tentang bagaimana pendidikan anak-anak Papua di dearah yang lebih terisolasi. Sudahnya di papua, lebih terisolasi pulak. Lengkap sudah. Akhirnya mereka memutuskan hijrah ke daerah yang lebih sulit aksesnya. Pilihan jatuh ke kabupaten Yahukimo. Sebegitu terpencilnya pegunungan Yahukimo ini, mengetahui nama distriknya saja gue belum pernah, apalagi mengunjunginya #yakaliikkk.. Sebelum mengambil keputusan, mereka perlu merasakan bagaimana situasi kehidupan dan pendidikan di sana. Jadi, pola pendidikan yang akan mereka terapkan ini nantinya benar-benar berdasarkan hasil ‘assessment’ yang tepat.  Tidak hanya berdasarkan teori yang dibuat di tengah nyamannya ruangan sejuk berpendingin udara di kantor kementrian Ibu Kota. Eh ini gue ngomong apa ya? Bukan kurikulum nasional kan? Kaaannn… Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mereka bisa sampai ke Yahukimo? Kita semua tahu kondisi topografis Papua sangat luar biasa sulit dengan infrastruktur yang belum merata. Transportasi yang masih diandalkan sampai saat ini adalah pesawat dengan biayanya yang sangat mahal. Gue jadi ingat cerita suamik ketika beberapa kali berkesempatan ke Papua. Butuh perjuangan untuk mencapai kota yang dituju. Naik perahu di sungai besar yang berkelok-kelok, itupun masih harus berhenti dulu ketika pusaran arus air muncul karena itu sangat berbahaya. Oh, belum lagi kalau ketemu buaya yang berenang bebas selayaknya ikan lele di empang belakang. Mangap melulu tiap gue mendengar ceritanya.. Jadi, naik pesawat adalah opsi yang paling masuk akal, walaupun bukan berarti resiko lebih kecil. Nah, karena secara realistis rekening mereka kurang mendukung, maka jalan kaki lintas pegunungan to the rescue. Sungguh pilihan yang berat, seberat badan gue. Begitulah. Di akhir tahun 2017 mereka trekking melintasi bukit, jurang, dan sungai selama hampir satu bulan lamanya. Pengalaman lengkap mereka terdokumentasi dengan seru di dalam catatan perjalanan blognya. Pokoknya, I really really highly recommend this #tersuhay. Gue kutip beberapa kisah ‘seru’ mereka ya.. Ketika mereka bermalam di salah satu honai penduduk..
Kami bermalam di honai adat beralaskan alang-alang dan tidur bersama kaneke (bagian potongan tubuh dari musuh yang dibunuh oleh nenek moyang pemilik honai saat perang dan disimpan di dalam honai adat) serta puluhan tulang, rambut, dan tengkorak, baik wam (babi) maupun manusia.
Ketika tidak sempat mandi serta bebersih dengan layak, maka yang terjadi adalah..
Malam itu kami tidur dengan hangat di honai om-nya Abelek, namun gatal-gatal di sekujur tubuh. Kutu babi mulai bekerja. Sepanjang malam saya setengah tidur sambil garuk-garuk kaki hingga punggung.
Ketika Putri nyaris tenggelam di kali Mugi..
Sepersekian detik saya berpikir, “Tuhan mungkin saya akan jatuh dan tenggelam. Meski kecil peluang mendapatkan arus tenang, tolong buat saya tenang dan bantu saya berenang pasif seperti yang dulu diajarkan saat arung jeram.”
Apa reaksi gue setelah selesai membaca seluruh blognya? Hanya satu kata.

Gilak.

Gue? Sudah pasti melambaikan tangan ke kamera. Kalau perlu sekalian dadah-dadah ke para rakyat #lalukampanye. Lahyuung, melintasi jalur gaza Cinere saja kayak ikut lomba thriatlon.. Ini lagi, suruh mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra #nyanyik… Nyerah aku simbook..

***

Apa inti dari tulisan gue yang panjang dan (semoga saja tidak) membosankan ini? Dari perjalanan itu, Adit dan Putri menyimpulkan, bukan sekolah dan pendidikan ‘normal’ Indonesia untuk kondisi daerah terpencil di Papua. Lalu, pendidikan yang seperti apa? Not in a formal school, but in a learning community. Iyap, mereka menggagas sebuah gerakan bernama Kawan Kasih Tumbuh. Apa itu? Kawan Kasih Tumbuh adalah sebuah komunitas mandiri yg mengoptimalkan sumber daya lokal melalui 3 misi besar, yaitu pendidikan holistik, peningkatan kualitas hidup, dan pemuridan. Semua itu mereka terapkan berdasarkan nilai adat budaya tempat asal daerah mereka tinggal. Untuk detilnya, boleh lihat video youtubenya..

 ***

Alhamdulillah yah.

Di tengah derasnya ancaman ‘hoax’, masih ada sediiiit usaha-usaha mulia untuk kemajuan negara Indonesia, yang menurut gue, lebih patut untuk diapresiasi. Terlebih, yang membuat gue tergetar adalah gue mengenal Putri secara pribadi. Mereka-mereka ini adalah contoh manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Bukan pasangan biasa, mereka adalah ‘Yang Dipilih’ oleh Tuhan.

Gue jadi ingat percakapan di kampus Fisip hari itu.. Gue       : “Namamu Putri Kitnas Inesia.. Itu artinya apa?” Putri     : “Putri KebangKITan NASional IndoNESIA kak?” Putri menjawab disertai senyum cemerlang, senyum pak radennya itu.. Gue       : *langsung membandingkan dengan nama sendiri yang Restu artinya di floRes lahir saTU*”.. YA AMPUN BAGUUSSS AMAAT!” Memang ya, nama itu benar-benar bagian dari doa. Sampai di sini sudah pah… #plaaaaakk #tendangdewikbalikkegunungsahara Sebagai penutup, gue berdoaaaa semoga Putri dan Adit selalu sehat dan dimudahkan dalam mengemban misi ini. Insya Allah, gue ingin membantu gerakan Kawan Kasih Tumbuh. Apapun itu. Adakah teman-teman yang juga tertarik membantu? Gambar mungkin berisi: 2 orang, termasuk Putri Kitnas Inesia, orang tersenyum, orang berdiri, keramaian dan luar ruangan

Diterbitkan oleh

dewi

Illustrator yang aselinya malas nonton drama korea, pengennya masak-cuci piring aja..

9 tanggapan untuk “Kurasa kau perlu mengenal temanku, Putri.”

  1. Mbakeeee Dewiiii ya ampuun sumprit ini lucu dan bikin aku terharu banget.. Siapalah aku sampe dibikinin tulisan..haha makasih ya ini menghibur banget! Dan kamu gak tahu ya skripshit S1 ku yang dibimbing oleh almarhum prof ternama Pak Dedy apa? “Pola hubungan faktor2 yang mempengaruhi loyalitas penonton terhadap konsumsi drama romantis Korea.” Ya ampuuun aku sampe rasa bersalah ama Pak Dedy karena topik ku receh banget. Sampe bilang Pak yang ini aja ya biar dua bulan kelar karena sa harus lulus semester ini. Hahahaha…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Putriiiiii.. aiiih gini doaaaang cuma bisanya gue.. dibanding harus naik turun gunung terus hidung nyungsep ke gundukan tanah hahahah.. HAHAHAHHAHA aduh judul skripsi lo epic banget sih. Tau gitu gue jg bikin tentang drama korea.. Kan asik ya insert gambar foto2 oppa bening dan bersinar gitu. Daripada bikin TKA ttg HP Sony Ericsson yang tebalnya segede dosa ngerjaiinya hampir 2 semester pulak.. Padahal ya gitu2 dhowaanngg..

      Suka

  2. Keren ya mereka berdua.. semoga sehat selalu dan diberi kelancaran serta kemudahan. Pingin ikut program kayak gini tp rasanya kayak hanyak jaring2 yg menghambat haha..

    Suka

    1. Iya Ade. Keren banget. Aku jg dari dulu ingin melakukan sesuatu , tapi sering ragu dengan berbagai macam jargon “peduli asmat” “peduli pendidikan papua” dll.. Nah, kayaknya salah satunya bisa melalui progr Kawan Kasih Tumbuh ini. Insya Allah mereka lebih bisa dipercaya. Nanti aku update lagi deh..

      Suka

    1. Iya mba Rahmaa luar biasa sekali ya mereka.. makasih ya mba.. Kata Adit dan Putri, doa dan dukungan kayak gini bener2 jadi penyemangat mereka di sana..

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s